Peran Pendidikan Sebagai Modal Utama
Membangun Karakter Bangsa
OLEH: SUSI
TERSIANA
KARYA ILMIAH
POPULER
Bangsa
Indonesia adalah bangsa yang besar karena didukung oleh sejumlah fakta positif
yaitu posisi geopolitik yang sangat strategis, kekayaan alam dan keanekaragaman
hayati, kemajemukan sosial budaya, dan jumlah penduduk yang besar. Oleh karena
itu, bangsa Indonesia memiliki peluang yang sangat besar untuk menjadi bangsa
yang maju, adil, makmur, berdaulat, dan bermartabat. Namun demikian, untuk
mewujudkan itu semua, kita masih menghadapi berbagai masalah nasional yang
kompleks, yang tidak kunjung selesai. Misalnya aspek politik, di mana
masalahnya mencakup kerancuan sistem ketatanegaraan dan pemerintahan,
kelembagaan Negara yang tidak efektif, sistem kepartaian yang tidak mendukung,
dan berkembangnya pragmatism politik. Lalu aspek ekonomi, masalahnya meliputi
paradigm ekonomi yang tidak konsisten, struktur ekonomi dualistis, kebijakan
fiskal yang belum mandiri, sistem keuangan dan perbankan yang tidak memihak,
dan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal. Dan aspek sosial budaya,
masalah yang terjadi saat ini adalah memudarnya rasa dan ikatan kebangsaan,
disorientasi nilai keagamaan, memudarnya kohesi dan integrasi sosial, dan melemahnya
mentalitas positif.
Dari sejumlah
fakta positif atas modal besar yang dimiliki bangsa Indonesia, jumlah penduduk
yang besar menjadi modal yang paling penting karena kemajuan dan kemunduran
suatu bangsa sangat bergantung pada faktor manusianya (SDM). Masalah-masalah
politik, ekonomi, dan sosial budaya juga dapat diselesaikan dengan SDM. Namun
untuk menyelesaikan masalah-masalah tersebut dan menghadapi berbagai persaingan
peradaban yang tinggi untuk menjadi Indonesia yang lebih maju diperlukan
revitalisasi dan penguatan karakter SDM yang kuat.
Salah satu aspek yang dapat
dilakukan untuk mempersiapkan karakter SDM yang kuat adalah melalui pendidikan.
Pendidikan merupakan upaya yang terencana dalam proses pembimbingan dan
pembelajaran bagi individu agar berkembang dan tumbuh menjadi manusia yang
mandiri, bertanggungjawab, kreatif, berilmu, sehat, dan berakhlak mulia baik
dilihat dari aspek jasmani maupun ruhani. Manusia yang berakhlak mulia, yang
memiliki moralitas tinggi sangat dituntut untuk dibentuk atau dibangun. Bangsa
Indonesia tidak hanya sekedar memancarkan kemilau pentingnya pendidikan,
melainkan bagaimana bangsa Indonesia mampu merealisasikan konsep pendidikan
dengan cara pembinaan, pelatihan dan pemberdayaan SDM Indonesia secara
berkelanjutan dan merata.
Melihat kondisi sekarang dan akan
datang, ketersediaan SDM yang berkarakter merupakan kebutuhan yang amat vital.
Ini dilakukan untuk mempersiapkan tantangan global dan daya saing bangsa.
Memang tidak mudah untuk menghasilkan SDM yang tertuang dalam UU tersebut.
Persoalannya adalah hingga saat ini SDM Indonesia masih belum mencerminkan
cita-cita pendidikan yang diharapkan. Misalnya untuk kasus-kasus aktual, masih
banyak ditemukan siswa yang menyontek di kala sedang menghadapi ujian, bersikap
malas, tawuran antar sesama siswa, melakukan pergaulan bebas, terlibat narkoba,
dan lain-lain. Di sisi lain, ditemukan guru, pendidik yang senantiasa
memberikan contoh-contoh baik ke siswanya, juga tidak kalah mentalnya. Misalnya
guru tidak jarang melakukan kecurangan-kecurangan dalam sertifikasi dan dalam
ujian nasional (UN). Kondisi ini terus terang sangat memilukan dan
mengkhawatirkan bagi bangsa Indonesia yang telah merdeka sejak tahun 1945.
Memang masalah ini tidak dapat digeneralisir, namun setidaknya ini fakta yang
tidak boleh diabaikan karena kita tidak menginginkan anak bangsa kita kelak
menjadi manusia yang tidak bermoral sebagaimana saat ini sering kita melihat
tayangan TV yang mempertontonkan berita-berita seperti pencurian, perampokan,
pemerkosaan, korupsi, dan penculikan, yang dilakukan tidak hanya oleh
orang-orang dewasa, tapi juga oleh anak-anak usia belasan.
Mencermati hal ini, saya mencoba
memberikan beberapa gagasan untuk penguatan mutu karakter SDM sehingga mampu
membentuk pribadi yang kuat dan tangguh. Pembahasan ini akan mengacu pada peran
pendidikan, terutama pendidik sebagai kunci keberhasilan implementasi
pendidikan karakter di sekolah dan lingkungan baik keluarga maupun masyarakat. Pendidikan
merupakan hal terpenting untuk membentuk kepribadian.
Pendidikan itu tidak selalu berasal
dari pendidikan formal seperti sekolah atau perguruan tinggi. Pendidikan
informal dan non formal pun memiliki peran yang sama untuk membentuk
kepribadian, terutama anak atau peserta didik. Pendidikan formal adalah jalur
pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar,
pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi. Sementara pendidikan nonformal
adalah jalur pendidikan di luar pendidikan formal yang dapat dilaksanakan
secara terstruktur dan berjenjang. Satuan pendidikan nonformal terdiri atas
lembaga kursus, lembaga pelatihan, kelompok belajar, pusat kegiatan belajar
masyarakat, dan majelis taklim, serta satuan pendidikan yang sejenis. Sedangkan
pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan. Kegiatan
pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan lingkungan dalam bentuk
kegiatan belajar secara mandiri.
Memperhatikan ketiga jenis
pendidikan di atas, ada kecenderungan bahwa pendidikan formal, pendidikan
informal dan pendidikan non formal yang selama ini berjalan terpisah satu
dengan yang lainnya. Mereka tidak saling mendukung untuk peningkatan
pembentukan kepribadian peserta didik. Setiap lembaga pendidikan tersebut
berjalan masing-masing sehingga yang terjadi sekarang adalah pembentukan
pribadi peserta didik menjadi parsial, misalnya anak bersikap baik di rumah,
namun ketika keluar rumah atau berada di sekolah ia melakukan perkelahian
antarpelajar, memiliki ’ketertarikan’ bergaul dengan WTS atau melakukan
perampokan. Sikap-sikap seperti ini merupakan bagian dari penyimpangan
moralitas dan prilaku sosial pelajar. Oleh karena itu, ke depan dalam rangka
membangun dan melakukan penguatan peserta didik perlu menyinergiskan ketiga
komponen lembaga pendidikan. Upaya yang dapat dilakukan salah satunya adalah pendidik
dan orangtua berkumpul bersama mencoba memahami gejala-gejala anak pada fase
negatif, yang meliputi keinginan untuk menyendiri, kurang kemauan untuk
bekerja, mengalami kejenuhan, ada rasa kegelisahan, ada pertentangan sosial,
ada kepekaan emosional, kurang percaya diri, mulai timbul minat pada lawan
jenis, adanya perasaan malu yang berlebihan, dan kesukaan berkhayal (Mappiare
dalam Suyanto dan Hisyam, 2000: 186-87). Dengan mempelajari gejala-gejala
negatif yang dimiliki anak remaja pada umumnya, orangtua dan pendidik akan
dapat menyadari dan melakukan upaya perbaikan perlakuan sikap terhadap anak
dalam proses pendidikan formal, non formal dan informal.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar